BUKU ASWAJA BAB 6 ; PERBEDAAN WIRID SYEKHUNA PADA SETIAP DAERAH
وَكَذَا يُقَالُ فِى الذِّكْرِ بِاللِّسَانِ وَبِالْقَلْبِ أَوْ بِالْقَلْبِ فَقَطْ فَبِلِسَانِ أَهْلِ الظَّاهِرِ ذِكْرُ اللِّسَانِ وَالْقَلْبِ أَفْضَلُ مُطْلَقًا وَعِنْدَ أَهْلِ الطَّرِيْقِ فِى ذَلِكَ تَفْصِيْلٌ تَفْهَمُهُ مِمَّا قَبْلَهُ إِنْ وَعَيْتَهُ وَتَأَمَّلْتَهُ فَإِنَّ الْمُسْتَغْرِقَ قَدْ يَعْرُضُ لَهُ مِنَ اْلأَحْوَالِ مَا يَلْتَجِمُ بِهِ لِسَانَهُ وَيَصِيْرُ فَلاَ غَايَةَ مِنْ مَقَامِ الْحَيْرَةِ وَالدَّهْشِ فَلاَ يَسْتَطِيْعَ نُطْقًا أَوْ يَتَفَرَّقُ بِسَبَبِ نُطْقِهِ مَاهُوَ مُتَمَثِّلٌ بِهِ مِنْ مَعَالِى تِلْكَ اْلأَحْوَالِ وَمَا هُوَ مُسْتَغْرِقٌ فِيْهِ مِنْ بِحَارِ اْلعِرْفَانِ وَالْكَمَالِ وَالْحَاصِلُ أَنَّ اْلأَوْلَى بِالسَّالِكِ قَبْلَ اْلوُصُوْلِ إِلَى هَذِهِ الْمَعَارِفِ أَنْ يَكُوْنَ مُدِيْمًا لِمَا يَأْمُرُهُ بِهِ أُسْتَاذُهُ الْجَامِعُ لِطَرَفَيِ الشَّرِيْعَةِ وَالْحَقِيْقَةِ فَإِنَّهُ هُوَ الطَّبِيْبُ اْلأَعْظَمُ (الفتاوى الحديثية ص 53)
"Begitu juga dikatakan dalam berdzikir dengan lisan dan hati atau dengan hati saja. Berdasarkan pendapat ulama Ahli Dzahir bahwa dzikir dengan lisan dan hati itu lebih utama secara mutlak, sedangkan menurut Ahli Thariqat dalam masalah tersebut terdapat rincian yang dapat kamu pahami sebelumnya, jika kamu ingin mengingat-ingat dan merenunginya sesungguhnya orang yang tenggelam (dalam berdzikir) terkadang datang kepadanya beberapa keadaan yang dapat mengunci lisannya, dan tidak ada batasan akhir bagi maqam tenggelam (dalam berdzikir), maka ia tidak mampu berkata-kata atau terdapat perbedaan yang diucapkannya dengan yang digambarkannya atau dengan apa yang ia alami. Dan ia adalah tenggelam dalam lautan ma'rifat dan kesempurnaan. Kesimpulannya adalah sesungguhnya yang paling utama bagi para salik (murid) sebelum ia sampai kepada derajat ma'rifat ini adalah hendaklah ia selalu mematuhi apa yang diperintah oleh gurunya yang telah mengumpulkan (menguasai) dua sisi syariat dan hakikat, sesungguhnya ia bagaikan seorang dokter yang agung."
وَاْلأَوْرَادُ بَعْدَ الصُّبْحِ وَغَيْرِهِ أَصْلاً صَحِيْحًا مِنَ السُّنَّةِ وَهُوَ مَا ذَكَرْنَاهُ فَلاَ اعْتِرَاضَ عَلَيْهِمْ فِى ذَلِكَ ثُمَّ إِنْ كَانَ هُنَاكَ مَنْ يَتَأَذَّى بِجَهْرِهِمْ كَمُصَلٍّ أَوْ نَائِمٍ نُدِبَ لَهُمُ اْلإِسْرَارُ وَإِلاَّ رَجَعُوا لِمَا يَأْمُرُهُمْ بِهِ أُسْتَاذُهُمُ الْجَامِعُ بَيْنَ الشَّرِيْعَةِ وَالْحَقِيْقَةِ لِمَامَرَّ أَنَّهُ كَالطَّبِيْبِ فَلاَ يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَايَرَى فِيْهِ شِفَاءً لِعِلَّةِ الْمَرِيْضِ (الفتاوى الحديثية ص 56)
"Aurad setelah shalat subuh dan lainnya adalah sah berdasarkan dalil (sunnah) yang shahih, itulah yang telah kami sebutkan maka tidak perlu adanya bantahan untuk mereka dalam hal tersebut. Kemudian apabila disana ada orang yang merasa terganggu dengan suara keras mereka (dalam berdzikir) seperti orang yang sedang shalat atau tidur maka disunnahkan agar mereka memelankan suara. Dan jika tidak ada orang yang merasa terganggu, maka mereka kembali mengeraskan suara sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh guru mereka yang telah menguasai antara syariat dan haqiqat, sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa ia (guru) tersebut bagaikan seorang dokter, dokter tidak akan memerintah (sesuatu) kecuali apa yang ia pandang sebagai obat bagi penyakit pasiennya."
Hmmm....
BalasHapuskurang komplit detail
BalasHapusClick to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.