17.43.00
0
A. Pendahuluan
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan dikatakan mengalami kekeringan spiritual sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat ampuh untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat secara konseptual dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi seperti sikap zuhud, sabar, qona’ah, rendah hati, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu. Seperti termaktub dalam hadits “innama buitstu li utammima makarima al-akhlak” (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak).[3]
Dalam islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segi tiga yang sangat berhubungan erat. Segi tiga itu yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali yang meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya lebih akrab disebut dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspek i’tiqodi yang termasuk didalamnya iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, hari ahir dan takdirNya. Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi yaitu aspek kejiwaan. Di dalam aspek kejiwaan inilah terkandung banyak sekali maqam atau sifat-sifat yang nantinya akan disebut dengan istilah tasawuf atau hakikat.[4] Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya monumentalnya Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu. Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Lebih dalam lagi karya al-Ghazali dianggap sebagai cikal bakal dari tumbuhnya berbagai aliran tasawuf modern yang saat ini sedang banyak diminati oleh masyarakat.[5]
Ada banyak komentar yang datang kepada al-Ghazali mulai dari kelompok yang memuji-muji karya dan pemikirannya hingga kelompok yang mencaci maki dan menganggap al-Ghazali sebagai tokoh yang harus bertanggung jawab atas kemunduran islam. Seperti apa sebenarnya pemikiran tasawuf al-Ghazali sehingga ia begitu banyak menjadi perhatian para ulama’ dan menjadi lahan subur bagi para akademisi yang ingin menyelami pemikirannya, makalah ini akan mencoba membuka dan menelaah sebagian pemikiran al-Ghazali dalam tasawuf.

B. Sekilas Tentang al-Ghazali
Al- Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karya hebatnya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 hijriyah di kota tush yaitu kota kedua setelah naisabur di daerah khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran.[6]
Lelaki dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
Selama perjalanan hidupnya ia pernah berguru kepada ahli fiqh asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Radhakani kemudian ia berpindah ke negeri Jurjan. Di sana ia berguru kepada Imam Abu Nasr al- Ismaili. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Jurjan ia kembali melanjutkan pengembaraannya. Kali ini ia pergi ke kota naisabur dan berguru kepada seorang ulama’ terkenal asy-Syaikh Diya’uddin Abu al-Ma‘ali 'Abdul Malik ibn ‘Abdullah al-Juwaini atau syaikh al- Haramain. Sedangkan guru al-Ghazali dalam bidang tasawuf adalah Syaikh Abu 'Ali al-Fadl ibn Muhammad al-Farmadhi at-Tusi seorang 'alim dan faqih, yang lebih terkenal di hari tuanya sebagai seorang guru sufi. Di bawah bimbingan gurunya ini, al-Imam Abu Hamid al-Ghazali telah mengamalkan beberapa latihan rohani, tetapi dia tidak sempat mencapai tahap kesempurnaan, kerana gurunya ini telah meninggal dunia pada tahun 477 Hijrah.[7] Namun ia akhirnya meneruskan pengembaraan tasawufnya bersama gurunya yang lain yaitu Syaikh Abu Bakr Yusuf an-Nassaj at-Tusi.
Pada masa hidupnya ia terkenal sebagai seorang ‘alim yang sering berpindah-pindah. Ia pernah bermukim di Mesir Iskandariyah, Damaskus, Bagdad, dan Makkah al-Mukarramah. Ia juga sempat diangkat sebagai ketua profesor di Madrasah al-Nidhomiyah di Baghdad. Disepanjang perjalanan hidupnya ia telah menulis banyak buku-buku islam dalam berbagai ilmu agama mulai dari ilmu kalam, usul al-fiqh, filsafat, dan ilmu tasawuf. Karya-karya al-Ghazali sering kali dijadikan rujukan oleh para akademisi dunia bahkan banyak profesor yang mengkaji secara serius karya dan pemikiran Abu Hamid al-Ghazali.
Al-Ghazali wafat pada tahun 505 hijriah atau 18 desember 111 M di daerah kelahirannya Tush.

C. Al- Ghazali dan Tasawuf
Tidak seperti kebanyakan tokoh sufi lainnya al-Ghazali melewati proses yang sangat panjang dan melelahkan dalam pencariannya akan kebenaran sejati. Bahkan sebelum ia menemukan tasawuf sebagai persinggahan terahirnya ia sempat berkeliaran dalam berbagai macam aliran dan kelompok hanya untuk mencari kebenaran itu. Ia sempat menuliskan kisah perjalannya tersebut dalam kitabnya Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal.
"Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga saat ini, ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku selalu mengarungi lautan yang dalam ini. Dengan segala keberanian, menelusuri seluruh segi, dan mempelajari akidah semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia mazhab semuah firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk mengetahui kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali agar aku mengetahui hasil kezhahirihannya, juga tidak filsafat kecuali aku hendak mengetahui hakikat filsafatnya, dan tidak kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir kalam dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin mengetahui rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah kecuali aku ingin mengetahui hasil dari ibadahnya, juga tidak kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at kecuali untuk menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti itu".[8]
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya.
Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.[9]
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.[10]
Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.[11]
Ihsan yang merupakan penjabaran dari konsep tasawuf selamanya tidak akan pernah bisa terlepas dari syariat itu sendiri. Konsep an ta’buda allah kaanaka tarahu adalah contoh paling mudah yang menggambarkan hubungan antara tasawuf dengan syariat. Praktek solat secara dhohirnya dengan rukun dan syarat-syaratnya merupakan aspek syariat yang diibaratkan sebagai tubuh (jasad). Sedangkan khusu’ (menghadirkan hati kepada Allah) merupakan aspek tasawuf yang diibaratkan sebagai hati atau ruh dari tubuh tersebut. Keduanya tentu tidak dapat dipisahkan dan bersifat saling melengkapi.[12]
Akhir kata, apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain Al-Qusyairi dan Al-Hawari-karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.

D. Konsep Ma’rifat al-Ghazali
konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.[13],[14]
Keterikatan antara 'mahabbah' dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.
Dalam Ihya’ U’lum al-Din al- Ghazali menyebutkan bahwa untuk sampai pada mahabbah seseorang harus meninggalkan hal-hal duniawi dan mengarahkan semua konsentrasi dan tujuan hidupnya hanya kepada Allah semata. Proses mengenal dan mencari Allah itulah yang kemudian disebut dengan ma’rifat.
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.[15]
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[16]
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh.
Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.
Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam. Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, "... sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. ... barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya."
Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.
Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.
Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syatotoh. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau ma'rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.
E. Penutup
Demikianlah sedikit uraian tentang konsep tasawuf al-Ghazali. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang geliat al-Ghazali dalam dunia tasawuf . Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca Wallâhul hâdî ilâ sabîli al-rasyâd.



[3] Musnad Ahmad, Imam Ahmad bin Hambal. Hadits ke 8595
[4] Haqoiq ‘an al-Tasawuf, Dr. Abdul Qodir Isa. hal 474
[5] Tasawuf, Harun Nasution. Makalah Paramadina hal 4
[6] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al-Ghazali. Hal 3
[7] Ibid. hal 4
[8] Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal, Abu Hamid al-Ghazali. Hal 24-25

[9] Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Prof Dr Amin Syukur, MA dan Drs Masyharuddin, MA.
[10] Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, Dr. Muhammad Musthafa Hilmi. Hal 124
[11] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali. Hal
[12] Haqoiq ‘an al- Tasawuf, Dr. Abdul Qodir Isa. Hal 474
[13] Opcit. Bab Mahabbah wa Syauq.
[14] Lihat al-Tabsir fi al-Din, al-Asfirani. Hal 118

[15] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.jilid 4 Hal 235
[16] Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog ini, saran dan kritik yang membangun, masih kami tunggu ... :) :)

daleev khan. Diberdayakan oleh Blogger.