07.09.00
1
Pada masa sekarang ini, yakni kira-kira setengah abd, di Indonesia umpamanya, diantara orang-orang Islam ada goncangan perdebatan dan bantahan disekitar masalah penetapan “dua bulan “ , yaitu Bulan Ramadlan dan Syawal untuk menyatakan awal Ramadlan sebagi permulaan puasa dan awal bulan Syawal (tanggal 1 syawal), pen.) sebagai hari rauya fitriyah.
Kita memberi nasehatkepada orang-orang yang mempunyai kemauan untuk memperinci masalah dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta berpegang teguh kepada agama Allah secara keseluruhan (bulat) dan juga maenjauhkan perpecahan. Sesungguhnya permulaan puasa dan Hari Raya Fitrah adalah sebagian dari tanda-tanda (syiar) agama Allah dan termasuk juga panji-panji mempersatukan sikap di atas kalimah Tauhid. Di sinilah terdapat kenyataan-kenyataan pengetahuan syarak yang dijalankannya oleh para Imam yang luhur, sekiranya kita mengetahui kesimpulan-kesimpulan dari kenyataan-kenyataan itu.
1. Bahwasanya para Imam madzhab empat bersepakt sebenarnya bulan Ramadlan itu tidak ada ketetapan kecuali dengan salah satu dari dua hal, yaitu mengetahui tanggal satu buln Ramadlan atau menyempurnakan bulan Syakban genap 30 hari bila disana didapatkan hal-hal yang menghalangi rukyah (melihat tanggal) sepertia adanya awan, mega debu atau yang sepadan dengan semuanya itu.
2. Mereka (para Imam madzhab) bersepakat juga bahwasanya masuknya bulan syawal adlah seperti itu pula yaitu dengan rukyah tanggal bulan Syawal, jika tidak dapat dilihat tanggal satu bulan Syawal, mak wajib menyempurnakn bulan Ramadlan genap 30 hari.
3. bahwasanya tindakn orang-orang Islam semuanya atas hal tersebut (maksudnya melihat tanggal atau menyempurnakan = Rukyah dan Ikmal) dengan tanpa terkecuali, dikarenkan tidak melihat adanya perselisihan terhadap persoalan tersebut yang datang adari ahli Qiblat diluar golongan Ahlussunnah Wal jamaah sebelum timbul pertentangan dizaman akhir (ini).
4. bahwasanya kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan lainnya, mereka sepakat seluruhnya tidak membolehkan melakukan dengan hisab (perhitungan), dikarenakan Syarik (Nabi Muhammad) tidak memerintahkan melakukan hisab. Hal ini dinisbatkn kepada orang awam. Adapun pernisbatan bagi diri orang yang jmelakukan Hisab dan murid-muridnya, maka Imam Syafii, baik dari hlussunnah Wal Jamaah dan lainnya, maka mereka sependapat melarang hal itu (maksudnya melakukan hisab) secara mutlak artinya bagi orang awam dan orang khusus (tertentu).
5. bahwasanya yang dianggap dalam penetapan dua bulan yaitu Ramadlan dan Syawal adalah dengan Rukyatul Hilal (melihat tanggal) tidak dengan wujudnya Hilal Bil Fikli berdasar kenyataan yang terkadang dapat diketahui melalui jalan Hisab (perhitungan). Kelima kesimpulan ini dapat diketahui beberapa kenyataan yang akan diterangkan berikut nanti.
Sebagaiman diterangkan dalam kitab “Al-Madzahibul Arbaah”, bahwa penetapan bulan Ramadlan dilakukan dengan menggunakan dasar dari salah satu dua hal :
Pertama : Yaitu mengetahui (melihat) tanggal satu bulan Ramadlan itu, bila langit dalam keadaaan sunyi (tidak terdapat) sesuatu yang mencegah penglihatan seperti awan, mega, debu atau yang sepadan dengan itu semua.
Ke dua : yatu menyempurnakan buln Syakban genap 30 hari, bila keadan langit tidak sunyi dari hal-hal sebagaiman tersebut di atas itu. Rasulullah Saw bersabda :
:"صُوْمُوْا لِرُﺅْيَتِهِ وَأَفْتِرُوْا لِرُﺅْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ (رواه البخاري عن ابي هريرة)
“Berpuasalah kamu sekalian, karena telah melihat tanggal satu bulan Ramadlan dan berbukalah kamu (maksudnya, berhari raya) karena melihat tanggal satu bulan Syawal, jika tanggal itu ditutupi oleh awa atas kamu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Syakban 30 (hari)”.

Menurut penegasan Nabi sebagaiman tersebut dalam Hadits ini, jelaslah bahwa dalam masalah penetapanm awal Ramadlan diperintahkan untuk melakukan Rukyatul Hilal.
Demikin pula dengan penetapan permulaan bulan Syawal.
Juga Nabi memberikan jalan keluar bilaman tanggal tersebut tidak dapat dilihat karena tertutup oleh awan tebal, mega, debu-debu yang bertebaran dan lain sebagainya maka ummat diperintahkan untuk menyempurnakan tanggal bulan Syakban genap menjadi 30 hari. Nabi telah menegaskan dalam Hadits tesebut yang sekaligus merupakan garis pedoman yang harus dianut oleh ummatnya, bahwa penetapan awal Ramadlan dan permulaan Syawal adalah dengan sebab rukyatul Hilal (melihat tanggal satu) bukan dengan sebab adanya tanggal yang diproses menurut kenyataan yang kadangkala diketahui dari jalan Hisab (perhitungan).
Hadlarutusy syekh berkata dengan mensitir Sabda Rasulullah Saw: “Fain Ghumma Alaikum”, beliau telah menemukan beberapa pendapat Ulama Hanabalah yang senantiasa berhati-hati dalam menentukan sikapnya. Mereka (Ualama Hanabalah) berpendapat, bahwa ketika tanggal itu tertututp awan disaat terbenamnya hari tanggal ke 29 bulan Syakban, maka tidak wajib menyempurnakan bulan Syakban genap menjadi 30 hari dan bagi seseorang wajib menetapkam niat serta berpuasa pada hari yang menyamai dengan malam tersebut, baik itu terjadi dari bulan Syakban atau Ramadlan dan berniatlah melakukan puasa dari bulan Ramadlan. Jika tanggal itu tampak ditengah-tengah berpuasa, bahwasanya hari itu adalah termasuk bulan Syakban maka tidak wajib menyempurnakan puasanya. Pendapat ulama Hanabilah ini dinisbatkan kepada permulaan Ramadlan, bila dinisbatkan kepada akhir Ramadlan maka endapat mereka seperti pendapat ulam Syafi’iyah , Hanafiyah, dan Malikiyah, yaitu denan hukum wajib menyempurnakan bulan Ramadlan genap 30 hari ketika tanggal tersebut tertutup awan dan sebagainya. Semuanya itu dianjurkan untuk diamalkan dengan penuh berhati-hati, karena berkaitan erat dengan urusan ibadah.

Demikian itulah kesepakatan para Imam Madzhab emapt terhadap masalah Rukayatul Hilal (melihat tanggal satu) atau menyempurnakan, maka jelas bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali Rukyah dan Ikmal (menyempurnakan bulan). Hal itu semata-mata karena mengamalkan hadits yang terseabut diatas. Bagi mereka ucapan ahli Hisab (sebagaimana diterangkan di muka) adalh tidak bernilai, maka menurut pandangan para Imam bahwa pribadi para ahli hisab tersebut tidak wajib berpuasa lantaran berpegangan dengan hasil hisabnya, dan juga tidak wajib berpuasa bagi orang yang percaya dengan ucapan mereka. Tapi Imam Syafi’I dan para ulam Syafi’iyah berpendapat perlu dianggap ucapan orang yang melakukan hisab dalam kaitanya dengan dirinya sendiri dan haknya orang yang membenarkan ucapan orang yang menghisab dan tidak wajib bepuasa bagi orang awam dengan adanya ucapan penghisab itu, demikian menurut pandangan yangbenilai tinggi.

Orang yag menolak menggunakan jalan Hisab telah membuat Hujjah (argumentasi), bahwasanya Rasulullah Saw, menggantungkan puasa atas tanda-tanda yangtetap, tidak berobah selamanya, yaitu Rukayatul Hilal Ramadlan atau menyempurnakn bilangan bulan genap 30 hari (mulai Rukyat bulanSyakban).

Aisyah rh. Berkata :
كَانَ رَسُوْلُ الله ص م يَتَخَفَّظْ فِىْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَخَفَّظُ فِىْ غَيْرِهِ.
“Di dalam bulan Ramadlan Rasulullah menjaga dan meneliti segala sesuatu yang tidak beliau teliti di bulan Syakban”.

Tindakan Rasulullah Saw. menjaga (meneliti) bulan Syakban (sedangkan bulan-bulan lain tidak banyak diteliti) sebagaimana dinyatakan dalam Hadits Aisyah adalah menjadi dasar (dalil) bahwa mwnywmpurnakan bulan Syakban genap 30 hari adalah berdasar dari Rukyah tidak dari Hisab.

Di pihak lain Hadlarutusy syekh juga telah menukil sebuah Hadits riwayat Abu Dawud dari Ibn Umar ra. Beliau (Ibn Umar) berkata :
تَرَا ﺊَ النَّاسُ الْهِلاَلِ فَاَخْبَرْتُ النَّبِىَّ ص م : " اَنِّىْ رَأَيْتُهُ فَصَا مَ وَاَمَرَ النَّاسَ بِصِيَا مِهِ.
“Sekalian manusia telah melakukan Ruikyat tanggal satu bulan ramadlan, maka aku memberitahu kepada Nabi Muhammad Saw. “Bahwasanya aku telah melihat tanggal satu (Bulan Ramadlan), kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan kepada sekalian manusia untuk berpuasa Ramadlan”.

Dalam Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Lima dari Ibn Abbas ra:
عَنِ ا بْنِ عَبَّاسٍ رَضِىاللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ اِلَى النَّبِىِّ ص م فَقَالَ: "اِنِّىْ رَأَيْتُ الْهِلاَلَ,"فَقَالَ: أَتَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ؟" قَالَ :"نَعَمْ!" قَالَ:" أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ؟" قَالَ: نَعَمْ قَالَ: فَأَذِّنْ فِى النَّاسِ يَا بَلاَلُ اَنْ يَصُوْمُوْاغَدًا."

“Bahwasanya telah datang seorang Badwi kepada Nabi Saw. maka berkatalah kepada Nabi : Sesungguhnya aku telah melihat tanggal. Rasulullulah menjawab: Adakah engkau bersaksi Sesungguhnya tiada Tuhan Selain Allah ! orang itu menjawab: Ya, Rasulullah bertanya: adakah engkau bersaksi Sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah? Orang itu menjawab: Ya! Rasulullah bersabda : Hai Bilal ! Beritahu sekalian manusia, agar mereka berpuasa pada hari esok”.
Berdsarkan keterangan Hadits ini, aku (Hadlaratus Syekh berkata, bahwa dari sinilah dapat dipahami sesungguhnya yang dinilai adalah dengan dasar Rukyat tanggal, tidak dengan wujud tanggal dan tidak pula dengan mengetahui adanya tanggal dati beberapa bentuk cara Hisab. Adapun adanya penetapan dengan dasar Rukyat adalah karena adanya beberapa Hadits yang menjelaskan makna firman Allh Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ." اَىْ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ دُخُوْلَ الشَّهْرِ بِرُؤْ يَةِ الْهِلاَلِ فَعَلى كُلِّ مَنْ رَأهُ اَوْ ثَبَتَتْ عِنْدَهُ رُؤْيَةُ غَيْرِهِ اَنْ يَصُوْ مَهُ.
“Barang siapa diantara kamu sekalian menyaksikan bulan Ramadlan, maka berpuasalah pada bulan itu artinya barang siapa dinatara kamu menyaksikan masuknya bulan Ramadlan dengan melihat tanggal satu, maka wajib atas tiap-tiap orang yang melihatnya atau orang lain yang berada di sampingnya, dia melihat tanggal, yaitu berpuasa pada bulan Ramadlan itu.”
(Argumentasi) bantahn-bantahn ini memperkuat pendapat, bahwa yang menjadi penilaian dalam penetapan bulan Ramadlan dan Syawal adalah dengan Rukyat tanggal satu tidak dengan wujudnya tanggal yang kadang-kadang diketahui dari cara Hisab ataui menyempurnakan bulan Syakban karena hendak berpuasa atau menyempurnakan bulan Ramadlan genap menjadi 30 hari karena hendak berhari raya.
Adapun ucapan orang-orang ahli hisab, meskipun ucapan itu disandarkan pada kaidah-kaidah yang sekecil-kecilnya, tetapi kita melihat sekali tempo mereka sering berselisih pendapatnya. Kemudian hadits tersebut sesungguhnya dapat dipahami, yaitu tidak adanya penilaian Hisab, karena tanda-tanda dalam rukyah – tanggal atau menyempurnakan (sebagai yang diterangkan dalam Hadits itu) adalah sangat ringkas. Sedangkan Hisab itu sendiri kadang-kadang dapat menyalahi kepada Ikmal (tindak menyempurnakan bulan genap 30 hari).

Demikian pula dalam penetapan bulan Syawal adalah sama halnya dengan penetapan permulaan bulan Ramadlan secara Ijmak diantara madzhab empat dan selain di kuar golongan Ahlussunnah Wal Jama,ah, maka sebaiknya sekarang ini engkau mengambil pendapat As-Sayyid Ibnul Qasim Al-Khuiy, salah seorang Ulama Syiah Imamiyah, beliau berpendapat, bahwa tidak ada yang perlu dianggap (dinilai) selain yang telah kami terangkan (yakni Rukyah tanggal satu Ramadlan atau melewati jumlah 30 hari bulan Syakban) dari pendapat ahli Hisab dan sebagainya, sampai beliau berkata, bahwa dalam penetapan permulaan Syawal pasti didasarkan dari kenyataan salah satu hal yang sudah diterangkan (yakni Rukyah tanggal dan persaksian dua orang adil atau menyempurnakan bilangan genap 30 hari). Jika tidak ada penetapan sesuatu apapun dari beberapa hal tadi, maka tidak boleh berbuka.

Selanjutnya timbul permasalahan, yakni apabila berbarengan ( bertepatan ) Hari jum’ah dengan Hari Raya, maka menurut pendapat madzhab kita ( ahlussu –nah wal jamaah )bagi penduduk negeri tidaklah shalat jum’ah menjadi gugur disebabkan telah mengerjakan shalat Hari Raya bagi mereka ( penduduk negeri ) masih tetap wajib mengerjakan shalat jum’at, berbeda dengan penduduk Desa dan masyarakat pegunungan (hutan) ketika mereka menghadiri (datang) mengerjakan Shalat Hari Raya dan keluar dari negeri Jum’atan nya bisa menjadi gugur dan boleh bagi mereka untuk meninggalkan jum’atan, kemudian mengerjakan shalat dzuhur. Sedangkan menurut madzhab Abu Hanifah, bahwa yang demikian itu tidak menggugurkan shalat jum’ah bagi masing-masing penduduk Desa dan orang-orang pegunungan, tetapi masih tetap wajib secara mutlak untuk mengerjakan shalat jum’ah.

Demikian halnya sering menjadi ramai dibicaarakn orang tentang tempat mengerjakan shalat Hari Raya, maka penting untuk diketahui, bahwa mengerjakan shalat Hari Raya itu yang lebih utama adalah di masjid bukan di tanah lapangan dan yang demikian itu bila masjid tersebut lokasinya luas, sebab masjidlah tempat yang lebih utama, lebih mulya dan lebih bersih dibanding tempat yang lainnya. Disamping itu di dalam masjid seseorang bias melakukan shalat dua rakaat Tahiyyatul Masjid dan juga beri’tikaf (yang semuanya tidak dapat dilakukan di tanah lapang). Para imam Madzhab sendiri tidak pernah berhenti (selalu mengerjakan) shalat Hari Raya di Makkah dalam Masjid, belum pernah dijumpai satu keteranganpun bahwa para imama senantiasa melakukan Shalat Hari Raya di Tanah Lapangan.

1 komentar:

Terimakasih telah mengunjungi blog ini, saran dan kritik yang membangun, masih kami tunggu ... :) :)

daleev khan. Diberdayakan oleh Blogger.