KESESUAIAN TUNTUNAN SYEKHUNA DENGAN SUNNAH RASUL
Seperti yang telah dipaparkan dalam bagian pertama bahwa tuntunan syekhuna merupakan tuntunan peribadatan yang berdasarkan pada sunnah Rasul dan amalan para salafus shalih, maka pada bagian ini akan dipaparkan sedikit argumentasi atas amalan-amalan yang dikerjakan oleh jamaah Asy-syahadatain.
Dalam kaitannya terhadap tatacara berpakaian dalam sholat dan beribadah, syekhuna menuntun santrinya untuk selalu berpakaian yang serba putih. Bahkan pakaian yang digunakannya adalah bernuansa arab yaitu jubah, sorban, dll. yang menurut halayak umum itu adalah budaya arab. Namun pada hakekatnya pakaian seperti itulah yang digunakan Rasulullah saw., dan segala sesuatu yang dilakukan Rasul adalah sunnah.
1. Keutamaan pakaian putih
Segala sesuatu yang dilakukan Rasulullah saw. adalah sebuah wahyu dan interpretasi dari Al-quran, dan bukan hanya budaya dan tradisi semata. Demikian pula dengan pakaian sholat yang beliau pakai, bukan hanya sebatas budaya arab belaka, melainkan suatu perintah dari Allah swt.
Hal ini dapat kita tinjau dari satu ayat Al-quran surat Al A’rof ayat 31 Yang berbunyi
يَا بَنِى آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ......
“Wahai anak cucu adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid…..." (imam ibnu Abbas menjelaskan bahwa pakaian yang bagus adalah yang berwarna putih)
Ayat tersebut merupakan ayat anjuran berhias dengan berpakaian yang bagus dan pantas ketika hendak memasuki masjid (sholat/beribadah). Sedangkan pakaian yang dipakai oleh Rasul adalah berupa Jubbah, Imamah/sorban, Kufiyah, dll. Hal ini bukanlah hanya sebatas budaya arab yang setiap hari digunakannya. Penafsiran ayat tersebut sebagai berikut;
يَا بَنِى آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ. وَلِهَذِهِ اْلآيَةِ وَمَا وَرَدَ فِى مَعْنَاهَا مِنَ السُّنَّةِ يُسْتَحَبُّ التَّجَمُّلُ عِنْدَ الصَّلاَةِ وَلاَسِيَمَا يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَيَوْمَ اْلعِيْدِ وَالطِّيْبُ ِلأَنَّهُ مِنَ الزِّيْنَةِ وَالسِّوَاكُ ِلأَنَّهُ مِنْ تَمَامِ ذَاِلكَ وَمِنْ أَفْضَلِ اللِّبَاسِ اَلْبَيَاضُ كَمَا قَالَ رَسُوْلَ الله ص م. إِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ
“(Wahai anak cucu adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan). dan dari ayat ini mengandung makna tentang kesunnahan berhias ketika hendak melakukan sholat, apalagi ketika hendak melakukan sholat jumat dan sholat id. Disamping berhias, hendaknya seseorang memakai wewangian karena memakai wewangian itu bagian dari berhias, begitu juga dengan bersiwak (gosok gigi) karena bersiwak adalah penyempurna dalam berhias. Dan berhias yang lebih utama ialah dengan memakai pakaian yang berwarna putih. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Pakailah pakaianmu yang berwrna putih karena pakaian putih itu sebaik-baik pakaianmu dan kafanilah orang-orang matimu dengannya (kain kafan yang putih).”
Terdapat pula beberapa hadits yang menjelaskan tentang tatacara berpakaian, khususnya dalam beribadah (yaitu memakai pakaian yang berwarna putih). Yaitu;
(قَوْلَهُ وَأَفْضَلُهَا اْلأَبْيَضُ) أَىْ أَفْضَلُ الثِّيَابِ َاْلأَبْيَضُ لِخَبَرِ التِّرْمِيْذِى " إِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ " وَيُسَنُّ أَنْ تَكُوْنَ جَدِيْدَةً فَإِنْ لَمْ تَكُنْ جَدِيْدَةً فَقَرِيْبَةٌ مِنْهَا وَيُسَنُّ أَنْ يَزِيْدَ اْلإِمَامُ فىِ حُسْنِ الْهَيْئَةُ ِللإِتْبَاعِ وَلأَنَّهُ مَنْظُوْرٌ إِلَيْهِ وَاْلأَكْمَلُ أَنْ تَكُوْنَ ثِيَابُهُ كُلُّهَا حَتَّى اْلعِمَامَةُ بَيْضَاءَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ كُلُّهَا فَأَعْلاَهَا وَيُطْلَبُ ذَالِكَ حَتىَّ فِى غَيْرِ يَوْمِ الْجُمْعَةِ لإِطْلاَقِ الْخَبَرِ الْمَذْكُوْرِ
“Dikatakan bahwa pakaian yang paling utama adalah pakaian putih, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih karena pakaian putih itu sebaik-baik pakaianmu dan kafanilah orang-orang matimu dengannya (kain kafan yang putih)” dan disunnahkan yang baru apabila ada, namun apabila tidak ada yang baru maka yang paling baru (bagus) diantara yang lainnya. Dan disunnahkan bagi imam untuk menyempurnakan keadaannya, karena dia diikuti dan menjadi pusat perhatian. Dan yang lebih sempurna adalah hendaknya seseorang memakai pakaian yang berwarna putih semua sampai sorbannyapun berwarna putih, maka apabila tidak ada yang putih kesemuanya, maka hendaknya bagian atas diusahakan (untuk berwarna putih), dan dianjurkan memakai pakaian putih sehingga pada hari selain hari jumat sekalipun, karena mutlaknya hadits yang telah disebut."
Senada dengan bunyi hadits tersebut diatas dikemukakan pula dalam kitab-kitab lainnya seperti kitab Minhajul Qowim hal.88, Maroqil Ubudiyah hal.54, Mawahibus somad hal. 60. Bulughul Marom hal. 63, Nihayatuz Zain hal. 142, Al Iqna juz I hal. 159, Al-Minhajut Tullab hal. 78, Fathul Wahab Juz I hal. 78, Hasiyah Qolyubi Juz I hal. 383, Fiqhus Sunnah Juz I hal. 436, dll.
Mengenai keutamaan pakaian putih ini telah banyak dikemukakan pula oleh banyak ulama dalam kitab-kitabnya, seperti berikut;
وَأَفْضَلُ الثِّيَابِ اَلْبَيَاضُ لِمَا رَوَى سَمُرَةُ بْنُ جُنْدَبٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ص م. إِلْبَسُوْا الثِّيَابَ اْلبِيْضَ فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ. وَيُسْتَحَبُّ ِللإِمَامِ مِنَ الزِّيْنَةِ أَكْثَرُ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِغَيْرِهِ ِلأَنَّهُ يُقْتَدَى بِهِ وَاْلأَفْضَلُ أَنْ يَتَعَمَّمَ وَيَرْتَدِيَ بِبُرْدٍ ِلأَنَّ النَّبِيَّ ص م. كَانَ يَفْعَلُ ذَالِكَ
"Pakaian yang paling utama adalah yang berwarna putih, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh samuroh bin jundab bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: 'Pakailah pakaian yang berwarna putih, karena pakaian putih itu lebih (terjaga) kesuciannya serta lebih baik'. Dan disunnahkan bagi imam untuk lebih menghias diri daripada yang lainnya (makmum), karena dia (imam) diikuti orang. Dan akan lebih afdhol lagi apabila memakai sorban dan rida, karena sesungguhnya nabi memakainya (melakukannya)."
Senada dengan bunyi hadits tersebut diatas dikemukakan pula dalam kitab-kitab lainnya seperti kitab Syama'ilul Muhammadiyah hal.69 dan 75, Riyadus Sholihin hal 366, Sunan Ibnu Majjah hadits ke 3567, dll.
Mengenai keutamaan pakaian putih tersebut banyak dikemukakan oleh para ulama didalam kitab-kitabnya, karena hal itu merupakan bagian dari ajaran islam. Seperti yang dikemukakan oleh para ulama dalam kitab-kitabnya sebagai berikut;
وَهَيْئَاتُهَا أَرْبَعُ خِصَالٍ اَلْغُسْلُ وَتَنْظِيْفُ الْجَسَدِ وَلُبْسُ الثِّيَابِ اْلبِيْضِ وَأَخْذُ الظُّفْرِ وَالطِّيْبُ
“Sunnah hai’at sebelum melaksanakan shalat jum’at ada empat perkara, yaitu; Mandi, membersihkan badan, memakai pakaian yang putih, memotong kuku dan memakai wewangian."
عَلَيْكُمْ بِاْلبَيَاضِ مِنَ الثِّيَابِ فَيَلْبَسُهَا أَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ
"Hendaklah kamu memakai pakaianmu yang berwarna putih, maka pakailah selama hidupmu dan kafanilah orang-orang matimu dengan yang berwarna putih, maka sesungguhnya pakaian/ kain yang berwarna putih itu sebaik-baiknya pakaianmu."
(وَ) الثَّالِثُ (لُبْسُ الثِّيَابِ اْلبِيْضِ) فَإِنَّهَا أَفْضَلُ الثِّيَابِ
“Dan yang ketiga adalah memakai pakaian yang berwarna putih, karena pakaian putih itu pakaian yang paling utama”
(وَالثَّالِثُ لُبْسُ) أَحْسَنِ ثِيَابِهِ مِنَ اْلأَبْيَضِ وَاْلأَخْضَرِ ِلأَنَّهُمَا مِنْ لِبَاسِ رَسُوْلِ اللهِ ص م. وَاْلأَوْلَى لُبْسُ (الثِّيَابِ اْلبِيْضِ فَإِنَّهَا أَفْضَلُ الثِّيَابِ) وَبَعْدَهَا اْلأَخْضَرُ فِى كُلِّ زَمَنٍ حَيْثُ لاَ عُذْرَ
“Dan yang ketiga adalah memakai sebaik-baiknya pakaian, yaitu yang berwarna putih dan hijau. Karena keduanya adalah pakaian Rasulullah saw. dan yang lebih utama dari keduanya adalah putih. Karena pakaian yang berwarna putih itu paling utamanya pakaian, dan setelahnya adalah pakaian yang berwarna hijau. Dan ini berlaku untuk setiap zaman selama tidak ada udzur (halangan)."
وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَأَفْضَلُهَا اْلبِيْضُ
“Dan seseorang hendaknya memakai sebaik-baik pakaiannya, dan yang paling utama adalah yang berwarna putih”
(وَلُبْسُ الثِّيَابِ الْبِيْضِ) بِأَنْ تَكُوْنَ ثِيَابُهُ كُلُّهَا بَيْضَاءَ وَاْلأَعْلَى مِنْهَا آكَدُ
“(Dan memakai pakaian putih) bahkan apabila ada, yang berwarna putih semuanya. Dan bagian atas putih itu hendaklah lebih didahulukan karena lebih Mu’akkad (sunnah yang sangat dianjurkan)”
ثُمَّ تَزَيَّنَ بِالثِّيَابِ اْلبِيْضِ فَإِنَّهَا أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى الله تعالى
“Kemudian berhiaslah dengan pakaianmu yang berwarna putih, karena pakaian putih itu paling disenangi oleh Allah swt.”
2. Keutamaan Qamis, Jubbah, Sorban
Jubbah, sorban, dll. merupakan pakaian yang telah dianjurkan oleh Rasulallah saw. seperti yang dijelaskan oleh para ulama dalam beberapa kitabnya sebagai berikut;
وَيُسَنُّ لِلْمُصَلِّى أَنْ يَلْبَسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَيَرْتَدِيَ وَيَتَعَمَّمَ وَيَتَقَمَّصَ وَيَتَطَيْلَسَ وَلَوْ كَانَ عِنْدَهُ ثَوْبَانِ فَقَطْ لَبِسَ أَحَدَهُمَا وَارْتَدَى بِاْلآخَرِ إِنْ كَانَ
“…. Dan disunnahkan bagi seseorang yang hendak melaksanakan sholat, agar memakai pakaian yang paling baik (yang ia miliki) dan hendaknya ia memakai rida, sorban, gamis, thailasan, dan apabila ia hanya memiliki dua macam saja, maka pakailah salah satu dari keduanya dan menjadikan rida dengan yang lainnya, itupun jika ada pakaian.”
(مَسْئَلَةٌ) يُسَنُّ لُبْسُ الْقَمِيْصِ وَاْلإِزَارِ وَاْلعِمَامَةِ وَالطَّيْلَسَانِ فِى الصَّلاَةِ وَغَيْرِهَا إِلاَّ فِى حَالِ النَّوْمِ وَنَحْوِهِ يُخْتَصُّ الطَّيْلَسَانُ غَالِبًا بِأَهْلِ اْلفَضْلِ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ
"Disunnahkan memakai Qamis, sarung, sorban, dan thailasan diwaktu sholat atau diluar sholat kecuali diwaktu tidur dan sebagainya, akan tetapi thailasan itu khusus bagi orang-orang mulia dari kalangan ulama dan pemimpin."
(سَتْرُ الْعَوْرَةِ) ... وَأَوْلَى السَّتْرِ الْقَمِيْصُ مَعَ السَّرَاوِيْلِ ثُمَّ اْلقَمِيْصُ مَعَ اْلإِزَارِ ثُمَّ الرِّدَاءُ
“(Menutup Aurot) dan penutup aurot yang paling utama adalah Gamis dengan celana atau Gamis dengan sarung, kemudian ditambah rida."
وَلِرَجُلٍ أَحْسَنُ ثِيَابِهِ وَيَتَقَمَّصُ وَيَتَعَمَّمَ فَإِنِ اقْتَصَرَ فَثَوْبَانِ قَمِيْصٌ مَعَهُ رِدَاءٌ
"Hendaklah bagi laki-laki agar memakai sebaik-baik pakaiannya dan hendaklah ia memakai qamis (jubah), sorban, dan apabila ingin membatasi maka cukuplah memakai dua pakaian yaitu qamis dengan rida"
كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ مِنَ الثِّيَابِ مَاوَجَدَ مِنْ إِزَارٍ أَوْ رِدَاءٍ أَوْ قَمِيْصٍ أَوْ جُبَّةٍ أَوْ غَيْرِ ذَاِلكَ وَكَانَ يُعْجِبُهُ الْخُضْرُ وَكَانَ أَكْثَرُ لِبَاسِهِ اْلبَيَاضَ وَيَقُوْلُ إِلْبَسُوْهَا أَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ
"Rasulullah saw memakai pakaian yang beliau miliki, yaitu sarung, rida, gamis, jubah, atau yang lainnya. Dan Nabi menyukai pakaian yang berwarna hijau, tetapi pakaian yang paling sering dipakai Rasulullah adalah pakaian yang berwarna putih. Dan beliau bersabda: Pakailah olehmu pakaian yang berwarna putih semasa hidupmu dan kafanilah orang-orang matimu dengan yang berwarna putih."
Tentang memakai sorban terdapat beberapa pandangan para ulama sebagai berikut;
(وَقَالَ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَانِ بِعِمَامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِلاَ عِمَامَةٍ) رَوَاهُ الدَّيْلَمِى عَنْ جَابِرٍ قَالَ الْمُنَاوِىُّ ِلأَنَّ الصَّلاَةَ حَضْرَةُ الْمَلِكِ وَالدُّخُوْلُ إِلَى حَضْرَةِ الْمَلِكِ بِغَيْرِ تَجَمُّلٍ خِلاَفُ اْلأَدَبِ
Rasulallah saw bersabda: “Dua rokaat dengan memakai sorban lebih baik dari 70 rokaat tanpa memakai sorban”(HR. Dzailami dari Jabir). Dan Imam Al-Munawi berkata: karena sholat itu menghadap maharaja (Allah swt), dan sangat tidak beradab apabila seseorang ingin menghadap maharaja (Allah swt) kemudian ia tidak berhias.
قال صلى الله عليه وسلم: تَعَمَّمُوا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَعَمَّمَتْ
"Bersorbanlah kalian karena sesungguhnya para malaikat itu memakai sorban"
وَكَانَ دَائِمًا يَلْبَسُ رَسُوْلُ الله ص م. اللِّبَاسَ اْلأَبْيَضَ وَاْلعَمَائِمَ اْلبَيْضَاءَ إِلاَّ فِى مَرَّاتٍ قَلِيْلَةٍ لَبِسَ اْلعِمَامَةَ السَّوْدَاءَ مِثْلَ فَتْحِ مَكَّةَ
"Bahwa Rasulullah saw selalu memakai pakaian yang berwarna putih dan sorban putih, kecuali sesekali Rasulullah saw. pernah memakai sorban warna hitam seperti pada waktu Fathu Makkah (penaklukan kota makkah)."
حَدَّثَنَا هَارُوْنُ بْنُ إِسْحَاقَ الْهَمَدَانِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُبَيْدِ الله بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عليه وسلم إِذَا اعْتَمَّ سَدَلَ عِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ, قَالَ نَافِعٌ : وَكاَنَ ابْنُ عُمَرَ يَسْدِلُ عِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ قَالَ عُبَيْدُ الله رَأَيْتُ الْقَاسِمَ وَسَالِماً يَفْعَلاَنِ ذَالِكَ. قَالَ اَبُو عِيْسَى هَذاَ حَسَنٌ غَرِيْبٌ
Diriwayatkan dari Harun bin Ishak Al-Hamdani, dari Yahya bin Muhammad al Madani bin Muhamad, dari Ibnu Umar dari Nafi’ ia berkata, adalah Nabi SAW apabila beliau memakai sorban, maka beliau meletakkan sorbannya diantara dua belikatnya. Nafi’ berkata: Ibn Umar juga meletakkan sorbannya diantara dua belikatnya. Ubaidillah berkata: aku melihat Qosim dan Salim melakukan seperti itu dan menurut Abu Isa, hadits ini adalah hadits Hasan Gharib.
Hadits senadapun terdapat dalam kitab Syamailul Muhammadiyah hal. 107 dan kitab Qutuf minas Syama’il hal. 97.
Dalam kitab Sunan Abi Dawud hadits ke 4078 terdapat hadits tentang Kopyah sebagai berikut;
قَالَ رُكَانَةُ وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: فَرْقُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُشْرِكِيْنَ الْعَمَائِمُ عَلَى اْلقَلاَنِسِ
"Sahabat Rukanah berkata: saya mendengar nabi saw bersabda: pembeda diantara kita dan orang-orang musyrik adalah sorban yang terletak diatas kopyah"
Mengenai pakaian putih dan sorban, jubah, dll., yang dipakai oleh jamaah Asy-Syahadatain ini banyak yang mengatakan su'ul adab, dengan alasan bahwa pakaian tersebut adalah pakaiannya para ulama.
Setelah menelusuri sumber-sumber hadits dan qaul ulama, tidak diketemukannya hadits atau ucapan para salaf yang mengatakan bahwa berpakaian demikian itu dilarang bagi kebanyakan ummat, bahkan yang kami temukan adalah perintah untuk memakainya, karena pakaian yang demikian itu adalah sunnah Rasul (pakaian yang dipakai rasul). Oleh sebab itu dianjurkan para umat islam untuk memakainya karena Rasulpun memakainya, sehingga orang-orang yang memakainya dengan tujuan mengikuti Rasul maka ia akan mendapatkan keutamaan dari Allah.
3. Hukum memakai pakaian yang berwarna hitam
Dalam beberapa kitab salaf dijelaskan tentang hukum memakai pakaian yang berwarna hitam, ada yang berpendapat Makruh, Khilaful aula dan ada yang berpendapat bid’ah.
مَنْ نَظُفَ ثَوْبُهُ قَلَّ هَمُّهُ وَمَنْ طَابَ رِيْحُهُ زَادَ عَقْلُهُ وَأَمَّا اْلكِسْوَةُ فَأَحَبُّهَا الْبَيَاضُ مِنَ الثِّيَابِ إِذْ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى الله تَعَالَى اْلبِيْضُ لاَيَلْبَسُ مَا فِيْهِ شُهْرَةٌ وَلُبْسُ السَّوَادِ لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ وَلاَفِيْهِ فَضْلٌ بَلْ كَرَّهَ جَمَاعَةٌ النَّظْرَ إِلَيْهِ ِلأَنَّهُ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ بَعْدَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم
"Barang siapa bersih pakaiannya maka sedikit susahnya, dan barangsiapa wangi baunya maka bertambah akalnya. Dan adapun pakaian yang lebih dicintai adalah pakaian yang berwarna putih, karena pakaian yang lebih dicintai Allah adalah yang berwarna putih, yang tidak dipakai karena mengandung keinginan ketenaran (Riya). Dan adapun memakai pakaian berwarna hitam itu tidak termasuk sunnah dan tidak pula mengandung keutamaan, bahkan ada satu golongan ulama yang menghukumi makruh melihatnya karena memakai pakaian berwarna hitam itu perbuatan bid’ah yang terjadi setelah sepeninggalan rasul saw."
وَفِى مَوْضِعِ مِنَ اْلإِحْيَاءِ يُكْرَهُ السِّوَادُ أَىْ خِلاَفُ اْلأَوْلَى وَقَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّيْنِ إِدَامَةُ لُبْسِهِ بِدْعَةٌ وَقَضِيَّتُهُ أَنْ لاَبِدْعَةَ فِى غَيْرِ إِدَامَتِهِ ِللأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ بِلُبْسِهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم لَهُ فِى مَوَاضِعَ عَدِيْدَةٍ لَكِنْ لاَيُنَافِى ذَالِكَ أَفْضَلِيَةُ اْلبَيَاضِ
“Dalam kitab ihya terdapat keterangan tentang makruhnya memakai pakaian berwarna hitam, Dan Syekh Izuddin mengatakan bahwa: apabila terus menerus memakai pakaian berwarna hitam maka hukumnya bid’ah, tetapi kalau tidak terus menerus maka tidak bid’ah; karena ada hadis yang menerangkan bahwa Rasulallah saw pernah memakainya (memakai pakaian hitam) dalam beberapa waktu, tetapi itu semua tidak menghilangkan/ menafikan keutamaan warna putih.
إِدَامَةُ لُبْسِ السَّوَادِ وَلَوْ فِى النِّعَالِ خِلاَفُ اْلأَوْلَى
"Memakai yang berwarna hitam secara terus menerus itu hukumnya Khilaful Aula (kurang baik) walaupun dalam masalah sandal" (apalagi dengan pakaian sholat)
Dengan demikian, jelaslah bahwa Tuntunan Syekhuna yang membina ummat dengan berpakaian Jubbah, Sorban, Rida, kufiyah, Sajadah, dan Sarung yang serba putih disaat beribadah merupakan Sunnah Rasulullah saw.
Dalam kaitannya terhadap tatacara berdzikir atau berdo’a, syekhuna menuntun beberapa cara berdzikir sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. karena hanya orang-orang yang dekat dengan Allahlah yang bahagia didunia dan akherat. Didalam Al-quran terdapat banyak perintah untuk berdzikir, diantaranya yaitu
وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Banyak-banyaklah kalian mengingat Allah supaya kamu mendapat kemenangan.” (Qs. Al Jumu’ah: 10)
يَااَيُّهَا اَّلذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak.” (Qs. Al-Ahzab: 41)
Rasulullah saw bersabda:
أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ, وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِكِكُمْ وَأَرْفَعُهَا فِى دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَاْلوَرِقِ وَأَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ؟ قَالُوْا: مَاذَاكَ يَارَسُوْلَ الله؟ قَالَ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى
“Tidakkah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik amal kalian, yang paling suci disisi Tuhan kalian, yang paling metinggikan derajat kalian, dan yang lebih baik daripada memberikan emas dan perak. Dan daripada kalian bertemu musuh-musuh kalian, maka kalian memukul tengkuk mereka dan merekapun (ganti) memukul tengkuk kalian.” Para sahabat bertanya; “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab; “Zikrullah” (HR. Al Baihaqy).
Dalam Tuntunannya (Tuntunan Syekhuna), Syekhuna mencontohkan tatacara beribadah dengan banyak berdzikir kepada Allah swt, karena dengan dzikrullah secara rutin/istiqomah, maka akan mengantarkan kita untuk selalu dekat dengan Allah swt., dan orang yang dekat dengan Allah akan mendapatkan kebahagiaan didunia dan akherat. Dan Inti/pokok utama dari tuntunan Syekhuna adalah Dzikir/ hidupnya hati beristiqomah dalam mengingat Allah.
Mudzakaroh atau berdzikir adalah proses pertama dalam menempuh Ma'rifat Billah, yaitu menetapkan Lafadz Allah didalam hati dalam segala tingkahnya. Terdapat sebuah hadits dalam Sunan At-Tirmidzi pada bab fitnah. Yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik.
لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَيُقَالُ فِى اْلاَرْضِ اَلله اَلله
"Kiamat tidak akan terjadi sampai dibumi ini hingga tidak ada yang mengucapkan Allah Allah."
لاَتَقُوْمُ السَّاعَةُ وَعَلَى وَجْهِ اْلاَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اَلله اَلله
"Kiamat tidak akan terjadi sedangkan dimuka bumi ini masih ada yang mengucapkan Allah Allah."
فَاشْتَغِلْ بِذِكْرِ خَالِقِكَ أَىْ ذِكْرٌ مِنَ اْلأَذْكَارِ وَأَعْلاَهَا هُوَ قَوْلُكَ اَلله اَلله اَلله لاَتَزِيْدُ عَلَيْهِ شَيْئًا
"Maka Sibukkanlah kalian dengan mengingat Tuhan yang menciptakan kalian, yaitu dzikir dari banyak dzikir, dan yang lebih utama adalah ucapanmu `Allah` (didalam hati) dengan tidak menambahi sesuatu daripadanya."
Hadits tersebut mengisyaratkan dzikir didalam hati yaitu berupa lafadz Allah. Dzikir ada dua macam, yaitu dzikir lisan dan dzikir hati. Dzikir lisan bagi seorang hamba akan mengantarkannya pada kelanggengan dzikir hati. Dzikir lisan ini sangat berpengaruh pada dzikir hati, apabila lisannya berdzikir bersamaan dengan dzikirnya hati, maka ia telah memasuki tahapan Mudzakarah yang sempurna.
Mengenai konsep dzikir dalam Tuntunan Syekhuna akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Dalam Tuntunan Syekhuna terdapat beberapa cara dalam kaitannya dengan jenazah setelah dikuburkan, yaitu Talkin, Tahlil, Solat Hadiyah, dll.
Talkin
Talkin adalah mengajarkan orang yang telah mati untuk menjawab pertanyaan malaikat munkar nakir dengan membaca dua kalimat syahadat. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw. sebagai berikut:
وَقَالَ ص م: يَا اَبَا هُرَيْرَةَ لَقِّنِ الْمَوْتَى شَهَادَةَ أَنْ لاَاِلَهَ إِلاَّ الله فَإِنَّهَا تَهْدِمُ الذُّنُوْبَ هَدْمًا. قُلْتُ: يَارَسُوْلَ الله هَذَا لِلْمَوْتَى وَكَيْفَ لِلأَحْيَاءِ؟ قَالَ ص م: هِيَ أَهْدَمُ وَأَهْدَمُ.
“Rasulullah saw. bersabda: “Hai Abu Hurairah, Ajarkanlah orang yang telah meninggal dengan Syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah, karena syahadat itu melebur dosa dengan selebur-leburnya (hancur)” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, ini untuk orang yang telah mati, lalu bagaimana untuk orang yang masih hidup?” Rasulullah menjawab: “Syahadat itu lebih menghancur leburkan dan menghancurkan."
Hadits tersebut memaparkan tentang manfaat syahadat yaitu menghancurkan dosa bagi orang yang telah mati dan bagi orang yang masih hidup. Oleh karenanya diperintahkan untuk mentalkin mayit dengan cara menuntunnya setelah dikuburkan, dan juga mentalkin syahadat bagi orang hidup dengan cara mengajarkannya, yaitu dengan membacanya secara istiqomah, sehingga didalam kubur kelak akan diajarkan oleh Allah swt. Hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Abbas sebagai berikut:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ : مَنْ دَاوَمَ عَلَى الشَّهَادَةِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا يُثَبِّتُهُ اللهُ عَلَيْهَا فِى قَبْرِهِ وَيُلَقِّنُهُ إِيَّاهَا
“Ibnu Abbas RA berkata: Barangsiapa mendawamkan syahadat selama hidup didunia, maka Allah swt akan menetapkan syahadat itu kepadanya didalam kubur."
Dalam penerapannya, syekhuna menuntun mayit untuk membaca dua kalimat syahadat sebagai jawaban dari pertanyaan Munkar Nakir. Hal inipun terdapat sebuah dalil yang menguatkannya yaitu tertulis dalam kitab talkin yang biasa digunakan oleh kaum muslimin. Yaitu yang berbunyi
اُذْكُرِ اْلعَهْدَ الَّذِى خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنْ دَارِ الدُّنْيَا إِلَى دَارِ اْلآخِرَةِ وَهِىَ شَهَادَةُ أَنْ لاَاِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ingatlah akan perjanjian ketika engkau keluar dari dunia keakhirat, ialah mengenai syahadat (persaksian) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad saw. adalah utusan Allah.”
فَمِنْ ذَلِكَ حَدِيْثُ أَبِى نُعَيْم أَنَّهُ ص م. قَالَ أُحْضُرُوْا مَوْتَاكُمْ وَلَقِّنُوْهُمْ لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَبَشِّرُوْهُمْ بِالْجَنَّةِ (الفتاوى الحديثية ص 20)
"Maka sebagian dari itu sebuah hadits dari Abi Nuaim bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Hadirilah orang-orang matimu dan ajarilah (talkinlah) mereka bahwa Tiada tuhan selain Allah, dan bahagiakanlah mereka dengan surga".
Dalam prakteknya, para Jama’ah Asy-syahadatain menggunakan buku talkin dengan cara merubah teks dalam buku tersebut seperti berikut ini;
فَإِذَا جَاءَكَ الْمَلَكَانِ الْمُوَكَّلاَنِ بِكَ وَهُمَا مُنْكَرٌ وَنَكِيْرٌ فَلاَ يُفْزِعَاكَ وَلاَ يُرْهِبَاكَ فَإِنَّهُمَا خَلْقٌ مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا سَأَلاَكَ مَنْ رَّبُّكَ وَمَنْ نَبِيُّكَ وَمَادِيْنُكَ وَمَاقِبْلَتُكَ وَمَا إِمَامُكَ وَمَنْ إِخْوَانُكَ فَقُلْ
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ الاَّ الله , وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ , اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمْ 2 x
اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ الاَّ الله , وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ , اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلى الِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ
Syahadat tersebut dibaca secara bersama-sama, dengan tujuan membantu mayit mengukuhkan imannya. Hanya dengan jawaban syahadat tersebut, telah cukup untuk menjawab semua pertanyaan tersebut. Karena dengan mengucapkan dua kalimat syahadat diatas menyimpan makna bahwa “tuhan saya Allah, nabi saya Muhammad saw., agama saya islam, qiblat saya ka’bah, pedoman saya Al-qur’an, guru saya Abah Umar, dan teman saya adalah orang-orang yang beriman”.
Dari sinilah sering timbul pertanyaan: Apakah si mayit dapat mendengar ketika ditalqin? Jawabannya yaitu dapat mendengar, sebab pada hakekatnya mayit dalam kubur itu dalam keadaan hidup ruhnya, dia masih dapat berbuat apa saja sebagaimana perbuatan orang yang masih hidup, yakni dapat berkata, dapat mendengar dan sebagainya hanya saja sebagaimana perbuatan si mayit dalam kuburan tidak dapat dinisbatkan dengan ukuran akal orang yang hidup didunia. Penjelasan ini sejalan dengan hadits Bukhari dan muslim, bahwasanya nabi bersabda :
اِنَّ الْعَبْدَ اِذَا وُضِعَ فِى قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ اَصْحَابُهُ اَنَّهُ يَسْمَعُ خَفْقَ قَرْعِ نِعَالِهِمْ.
“Ketika (mayit) seorang hamba diletakkan dikuburannya dan para pengiring (jenazah) telah berpaling dari kuburannya itu, maka sesungguhnya si mayit tersebut dapat mendengar suara goseran sepatu (sandal) mereka (yang mengiring)."
Berdasarkan bunyi hadits ini, terang sekali bahwa si mayit yang berada didalam kuburan masih dapat berbuat sebagaimana yang masih hidup, yakni mendengar suara goseran alas kaki (sandal, sepatu) mereka yang mengiring jenazah. Demikian pula halnya dalam kaitannya dengan pentalqinan atas si mayit tersebut, kiranya sudah jelas bahwa si mayit dapat mendengarkan bacaan syahadat pentalqin.
Tahlil
Tahlil adalah istilah/sebutan bagi kumpulan bacaan yang dikhususkan untuk dikirimkan pahalanya kepada mayit.
Tahlil merupakan salah satu dari beberapa masalah khilafiyah, maka sebenarnya tidak patut untuk dijadikan pembicaraan ramai (dipertentangkan) dan dipercekcokkan. Demikian pula tidak selayaknya terjadi percekcokan diantara kedua belah pihak yang bersikap menerima dan menolak terhadap sesuatu yang tidak seharusnya terjadi diantara dua saudara Islam, meskipun pihak penolak mempunyai pegangan dan pihak yang lainnya (yakni pihak yang menerima) juga mempunyai pegangan.
Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa : si mayit itu dapat memperoleh manfaat bacaan Al-qur’an sebagaimana ia memperoleh manfaat ibadah harta yaitu shadaqah dan yang sepadannya. Didalam kitab Ar-Ruh ibnul Qayyim juga berpendapat bahwa: Sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayit yaitu shadaqah, istigfar, mendoakan dan menghajikannya. Adapun membaca Al-qur’an dan menghadiahkan bacaannya kepada si mayit dengan tujuan karena Allah, tanpa dibayarkan si pembaca (tanpa meminta upah), maka pemberian hadiah ini dapat sampai kepada mayit sebagaimana pahala puasa dan haji (dapat sampai kepadanya). Selanjutnya ditempat lain dalam kitabnya, beliau berkata bahwa yang lebih utama yaitu adanya niat ketika mengerjakan amalan bacaan dimana bacaannya itu diperuntukkan si mayit, tetapi tidak disyaratkan niat tersebut harus dilafalkan.
Asy-Syekh Hasanain Muhammad Makhluf berkata: bahwa para Ulama Hanafiyah telah berpendapat: Sesungguhnya tiap-tiap orang yang beribadah, baik berupa shodaqah atau bacaan Al-qur’an atau selain daripada itu yang berupa segala macam kebaikan, maka baginya boleh memberikan pahala ibadah tersebut kepada orang lain dan ini akan dapat sampai kepadanya.
Di dalam kitab Fat-hul Qadir ada suatu riwayat yang diceritakan dari Shahabat Ali Karamallahu Wajhah dari Nabi Saw, beliau bersabda :
رُوِىَ عَنْ عَلِىٍّ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "مَنْ مَرَّ عَلَى اْلمَقَابِرِ وَقَرَأَ (قُلْ هُوَ اﷲُ اَحَدٌ) اِحْدَى عَشْرَةَ ثُمَّ وَهَبَ أَجْرَهَا لِلأَمْوَاتِ أُعْطِىَ مِنَ اْلأَجْرِ بِعَـدَدِ اْلأَمْوَاتِ".
“Barang siapa yang melewati diatas kuburan-kuburan dan membaca: ”Qul Huwallahu Ahad” sebanyak sebelas kali, kemudian memberikan pahalanya kepada segenap orang yang mati, maka dia akan diberi pahala sebanyak jumlah orang-orang yang mati itu.”
Hadis Nabi ini menunjukkan, bahwa pahala bacaan Al-qur’an pada hakekatnya dapat sampai kepada si mayit ketika bacaan itu dihadiahkan kepadanya. Demikian pula orang yang membaca surat Al-Ikhlas sebelas kali yang pahalanya diberikan kepada segenap orang Islam yang sudah mati, maka orang tersebut. diberi pahala sebanyak hitungan orang yang sudah mati itu.
Dalam hadis lain diceritakan dari Shahabat Anas, bahwa Nabi Saw pernah ditanya :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ ص م سُئِلَ فَقَالَ السَّائِلُ يَارَسُوْلَ اﷲِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوْتَانَا وَنَحُجُّ عَنْهُمْ وَنَدْعُوَ لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذلِكَ إِلَيْهِمْ؟ قَالَ: نَعَمْ, إِنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَأَنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِه كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالطَّبْقِ إِذَا أُهْدِىَ اِلَيْهِ. اﻫ
“Wahai Rasul, Bahwasanya aku pernah bersedekah untuk orang-orangku yang sudah mati, menghajikan mereka dan mendoakannya. Apakah semuanya itu dapat sampai kepada mereka?
Nabi menjawab: “YA”, bahwa semuanya bisa sampai kepada mereka dan mereka sendiri menjadi gembira, sebagaimana kegembiraan seseorang diantara kalian dengan hidangan makan ketika dihadiahkan kepadanya."
Kalau sekiranya hadis ini dipahami, sebenarnya banyak pengertian yang dapat diambil,bahwa :
1. Amalan orang yang masih hidup yang disampaikan kepada mayit adalah dapat sampai dan si mayit sendiri merasakan manfaatnya.
2. Pewakilan amalan suatu perbuatan baik yang dikerjakan oleh orang yang masih hidup, sedangkan yang mewakilkan yaitu si mayit lewat harta yang ditinggalkan misalnya adalah dibenarkan oleh beliau (Nabi), bahkan sampai pahalanyapun dinyatakan oleh Nabi dapat sampai kepada si mayit.
3. Pernyataan Nabi yang berupa pembenaran terhadap amalan tersebut sebagaimana diceritakan dalam hadits di atas adalah suatu tuntutan nyata dari beliau yang selayaknya diikuti.
Terdapat suatu keterangan yang tersebut dalam kitab Majmu karangan Imam An-Nawawi, bahwa pada suatu ketika Qadli Abu Ath Thayyib ditanya tentang persoalan menghatamkan Al-qur’an di kuburan, beliau menjawab: pahala bacaan itu bagi pembaca, sedangkan si mayit seperti halnya orang-orang yang hadir, dia (mayit) mengharapkan rahmat dan berkah. Dengan demikian menurut pengertian yang dapat diambil dari jawaban Qadli Abu Ath-Thayyib, jelas disunnahkan hukumnya membaca Al-qur’an diatas kuburan.
Demikian pula telah disebutkan dalam kitab Majmu Tsalatsu Rasail yang ditulis Al-Allamah Muhammad Al-Arabi, bahwasanya membaca Al-qur’an atas orang-orang yang sudah mati hukumnya boleh (jaiz). Menurut pendapat sebagian Ulama Fiqh Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, bahwa pahala bacaan itu dapat sampai kepada mereka (ahli-ahli kubur), meskipun dalam kenyataannya dikerjakan dengan memakai upah (ujrah).
Solat Hadiyah
Sholat Hadiyah adalah solat sunnah dua rokaat yang pahalanya diperuntukkan untuk orang yang meninggal, namun waktunya adalah pada malam pertama jenazah dikuburkan. Dengan tujuan memberikan cahaya dan banyak kenikmatan kepada jenazah dimalam pertamanya dialam kubur. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits sebagai berikut:
رُوِىَ عَنِ النبي ص م أَنَّهُ قَالَ لاَيَأْتِى عَلَى الْمَيِّتِ أَشَدُّ مِنَ اللَّيْلَةِ اْلأُوْلَى فَارْحَمُوْا بِالصَّدَقَةِ مَنْ يَمُوْتُ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
"Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda; tidak datang atas mayit persoalan yang lebih berat dari malam pertama, maka sayangilah orang-orang yang telah meninggal dengan shadaqah, apabila tidak bisa bershadaqah maka kerjakanlah shalat dua rakaat (shalat hadiyah)."
Shalat hadiyah tersebut dikerjakan dengan dua rakat, yang pada setiap rakaatnya membaca Al-Fatihah, Ayat Kursi, At-Takatsur, dan Al-Ikhlas 11 kali. Dan setelah salam membaca:
اَللَّهُمَّ إِنِّى صَلَّيْتُ هَذِهِ الصَّلاَةَ وَتَعْلَمُ مَا أُرِيْدُ اَللَّهُمَّ ابْعَثْ ثَوَابَهَا إِلَى قَبْرِ فُلاَن بن فُلاَن
Dan manfaat dari shalat hadiyah tersebut adalah bahwa Allah akan mengutus 1000 malaikat yang membawa nur kedalam kubur si fulan, dan memberikannya kegembiraan.
Ziarah kubur
Ziarah kubur menurut beberapa madzhab kaum muslimin seluruhnya membolehkan, bahkan mereka juga menjelaskan tentang tatacara dalam berziarah kubur. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari ‘Aisyah dijelaskan bahwa Rasulullah pernah melakukan ziarah kubur
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ الله عَنْهَا أَنَّهُ ص م أَخْبَرَهَا أَنَّ جِبْرِيْلَ جَاءَهُ فَقَالَ لَهُ: "إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِىَ أَهْلَ الْبَقِيْعِ فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ" وَأَنَّهُ ص م جَاءَ الْبَقِيْعَ فَقَالَ وَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. وَأَنَّهَا رَضِىَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ لَهُ كَيْفَ أَقُوْلُ لَهُمْ ؟ فَقَالَ: قُوْلِىْ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ.
“Sesungguhnya Rasulullah telah memberitahu kepada Aisyah, bahwa Malaikat Jibril telah mendatanginya kemudian berkata Jibril kepadanya : Sesungguhnya Tuhanmu memerintah kamu untuk mendatangi (menziarahi) ahli baqi, maka kamu mintakan ampun mereka, dan Rasulullah sendiri telah datang ke Baqi serta berkata dan berdiri lama sekali, kemudian mengangkat kedua tangannya sampai tiga kali.”
Selanjutnya Aisyah bertanya kepada Rasululah : “Bagaimana caranya aku membaca (untuk ahli Baqi)? Kemudian beliau menjawab : bacalah “Kesejahteraan buat kalian wahai penghuni kubur, orang mukmin dan muslim, semoga Allah menyayangi kalian, baik yang terdahulu maupun yang terbelakang, dan jika Allah menghendaki pasti aku akan menyusulmu."
Diceritakan oleh Aisyah pula bahwasanya berziarah kubur Baqi adalah suatu kebiasaan Nabi, sebagaimana keterangan dalam lafadl Hadits di bawah ini :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص م كُلَّمَا كَانَتْ لَيْلَتُهَا مِنْ رَسُوْلُ اللهِ ص م يَخْرُجُ آخِرَ اللَّيْلِ إِلَى الْبَقِيْعِ فَيَقُوْلُ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمِ مُؤْمِنِيْنَ وَآتَاكُمْ مَا تُوْعَدُوْنَ غَدًا مُؤَجَّلُوْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ, اَللّهُمَّ اغْفِرْ لأَهْلِ بَقِيْعِ الْغَرْقَدِ.
“Sewaktu-waktu Rasulullah diwaktu malam giliran siti A'isyah. Beliau keluar di akhir malam menuju Baqi maka membacalah:
“Keselamatan bagi kamu sekalian di desa kaum yang sama beriman, dan telah datang kepadamu segala sesuatu yang sudah dijanjikan esok kalian semuanya ditangguhkan serta Insya Allah kita semuanya pasti bertemu dengan kamu. Wahai Allah semoga engkau mengampuni kepada ahli Baqi' Gharkad."
Pada masa permulaan Islam, ziarah kubur itu dilarang oleh Rasulullah, karena kondisi manusia pada masa itu sangat dekat masanya dengan zaman jahiliyah, akan tetapi (setelah agama Islam mendalam dan keimanan mengakar dalam hati pemeluknya) larangan tersebut dirubah dengan bentuk ucapan Rasululah dan perbuatan beliau. Perubahan yang melalui bentuk perbuatannya maka telah tersebut diatas. Sedangkan yang berbentuk ucapan adalah sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا , فَقَدْ اُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِى زِيَارَةِ قَبْرِ اُمِّهِ, فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ
“Aku pernah melarang kamu sekalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kamu ke kubur, sesungguhnya telah diijinkan bagi Muhammad Saw, untuk menziarahi kubur ibunya, maka berziarahlah kamu semua ke kubur, karena ziarah itu dapat mengingatkan kalian kepada akhirat."
Selanjutnya timbul permasalahan di kalangan para Ulama tentang status hukum berziarah kubur yang dilakukan oleh kaum wanita. Segolongan orang dari kalangan ahli ilmu berpendapat, bahwa orang perempuan berziarah kubur hukumnya makruh Tahrim atau makruh Tanzih, karena adanya Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :
عن أبى هريرة أَنَّ رَسُوْلَ الله ص م. لَعَنَ زَوَّرَاتِ الْقُبُوْرِ (رواه أحمد وابن حبان والترمذى)
“Sesungguhnya Rasululah melaknati orang-orang perempuan yang berziarah kubur."
Berdasarkan bunyi Hadits ini, mereka memberikan keputusan Hukum orang perempuan berziarah kubur, sebagaiman tersebut diatas. Tapi sebagian besar kalangan para Ulama berpendapat, bahwa bagi orang perempuan berziarah kubur itu hukumnya jawaz (boleh), asal memang terasa aman (sepi) dari fitnah. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan beberapa dalil (hadits) sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah berkata :
عن عائشة قالت كَيْفَ أَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِذَا زُرْتُ الْقُبُوْرَ؟ قَالَ: قُوْلِىْ "اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ الْمُؤْمِنِيْنَ (رواه مسلم)
“Dari ‘Aisyah, beliau bertanya pada nabi: Bagaimana caranya aku membaca Hai Rasululah!, jika aku berziarah kubur?. Jawab Nabi : berucaplah (bacalah) : “Assalamu alaikum Ahlad Diyaril Mu’minin”
(Mudah-mudahan keselamatan diberikan kepada kamu sekalian hai … ahli kubur orang-orang mu’min).” A'isyah adalah sahabat perempuan.
Home
»
aswaja
»
asysyahadatain
» BUKU ASWAJA BAB 2; KESESUAIAN TUNTUNAN SYEKHUNA DENGAN SUNNAH RASUL
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
daleev khan. Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah mengunjungi blog ini, saran dan kritik yang membangun, masih kami tunggu ... :) :)